Penggunaan Nudge Dalam Bisnis

belinda azzahra
4 min readApr 7, 2023

--

Pernahkah kamu pergi ke pasar swalayan lalu melihat papan diskon “beli 2 gratis 1” dan akhirnya membeli produk tersebut walaupun tidak masuk ke dalam daftar barang yang mau dibeli pada awalnya? Atau mengakses situs e-commerce, menemukan paket bundling produk yang terlihat sangat menguntungkan, dan akhirnya membeli paket tersebut? Cara ini, atau yang sering disebut pricing plan, merupakan salah satu contoh strategi promosi kecil suatu bisnis dalam meningkatkan jumlah penjualan produknya. Kasus lain yaitu pilihan ukuran cup Starbucks yang memiliki selisih harga sangat sedikit antara ukuran Venti dan Grande mendorong konsumen untuk upgrade minuman yang mereka beli.

Alih-alih membuat sebuah strategi promosi yang mahal dan eksklusif, banyak bisnis yang melihat sebaliknya, yaitu membuat usaha-usaha kecil namun bisa berpengaruh besar pada perilaku dan daya beli masyarakat. Kasus di atas merupakan salah satu contoh pengaplikasian dari nudge theory. Nudging adalah teori perilaku bahwa alih-alih membuat langkah berani atau menerapkan perubahan besar untuk membuat orang bertindak, kita hanya harus membuat perubahan kecil dan netral secara ekonomi sebagai gantinya, namun tetap menimbulkan pengaruh yang besar. Nudge Theory pertama kali diangkat tahun 2008 oleh Richard Thaler dan Cass Sunstein yang menerbitkan buku Nudge: Meningkatkan Keputusan tentang Kesehatan, Kekayaan, dan Kebahagiaan. Intinya, buku ini menjelaskan bahwa tidak perlu dorongan kompleks untuk bisa menggerakkan seseorang melakukan sesuatu atau bertindak berbeda, namun buatlah dorongan kecil yang mampu menyentuh sisi emosional atau memenuhi kebutuhannya.

Nudge Theory banyak diaplikasikan ke dalam aspek bisnis, mulai dari menyusun strategi pemasaran, penjualan, dan operasional. Dalam artikel kali ini, teman-teman akan dibawa untuk bisa tahu lebih lanjut bagaimana teori perilaku ini dapat membantu para bisnis meningkatkan performanya dalam menyediakan produk barang atau jasa kepada masyarakat ke dalam beberapa contoh kasus. Contoh aplikasi dalam bisnis adalah bagaimana penjual atau pemasar memanfaatkan efek tipuan (decoy) dalam mendorong konsumen memilih produk yang mereka harap untuk jual. Misalnya, ada produk iPhone 1A yang harganya murah dan spesifikasi rendah serta iPhone 1C yang harganya mahal dan spesifikasi bagus. Biasanya, orang cenderung akan memilih iPhone 1A karena iPhone 1C dianggap terlalu mahal dan tidak mereka perlukan. Di kasus ini, seringkali Apple selaku produsen dan pemasar memperkenalkan satu produk baru, yaitu iPhone 1B, yang harganya sedikit lebih murah dibanding iPhone 1C, tetapi speknya jauh lebih jelek. Ketika pilihan ini diperkenalkan, banyak orang yang akan merasa lebih baik “sekalian” beli iPhone 1C karena harganya berbeda sedikit dari 1B tetapi spesifikasinya jauh lebih bagus, dan akhirnya mengubah pilihan final mereka dari mau membeli 1A ke 1C – produk yang Apple harap konsumen akan dibeli karena harga (dan mungkin marginnya) lebih tinggi.

Contoh berikutnya adalah menekan jumlah pilihan produk. Dalam ilmu perilaku yang diaplikasikan ke nudge theory, manusia terbukti seringkali menghadapi choice overload – ketidakmampuan untuk mengambil pilihan dengan optimal karena ada terlalu banyak pilihan. Di sejumlah eksperimen, ketika dihadapkan dengan terlalu banyak varian produk, lebih banyak konsumen yang melihat-lihat barang yang dijual tetapi jumlah pembeliannya lebih rendah. Sementara itu, ketika varian tidak terlalu banyak, lebih sedikit orang yang berkunjung untuk melihat-lihat sebuah kios atau booth tetapi jumlah pembeliannya justru meningkat karena konsumen tidak kebanjiran pilihan.

Selain itu, di ilmu perilaku juga ada teori terkait anchoring effects. Anchoring, yang bisa diterjemahkan sebagai “jangkar”, adalah fenomena di mana kita menggunakan sebuah angka atau informasi sebagai titik referensi awal. Misalnya, jika ada 2 orang di mana orang pertama diminta menulis angka antara 1 – 10 sementara orang kedua diminta menulis angka antara 100 – 120, lalu mereka diminta untuk memilih angka random secara terpisah, orang pertama cenderung akan memilih angka random mendekati angka 10 sementara orang kedua akan memilih yang berada di atas angka 100 karena ada “jangkar” atau anchor itu tadi. Maka, ketika di pasar swalayan ada tulisan “Maksimal pembelian 10 kaleng per konsumen”, jumlah pembelian sebuah produk kalengan justru meningkat karena konsumen membeli sejumlah angka yang lebih mendekati angka 10 ketimbang angka 0, karena angka 10 adalah “jangkar”-nya.

Selain itu, tentunya nudge theory juga bisa diaplikasikan ke taktik pemasaran yang lebih tradisional, misalnya soft selling yang berkembang sebagai strategi pemasaran yang lebih cocok dengan karakteristik masyarakat. Soft selling cenderung menekankan usaha-usaha kecil dan murni yang bertujuan akhir untuk menyadarkan masyarakat bahwa mereka “butuh” produk atau jasa yang ditawarkan bisnis tersebut. Soft selling biasanya dimulai dari membawa permasalahan-permasalahan yang terjadi sehari-hari di masyarakat dan mencoba mengambil 1 keterkaitan bahwa produk/jasa yang ditawarkan bisnis tersebut mampu menyelesaikan masalah tersebut. Selain itu, juga ada optimalisasi omni channel yang mulai digarap oleh berbagai perusahaan baik skala global maupun lokal. Dulu, para perusahaan memiliki intensi untuk secara besar-besaran membuka channel dan supply chain road bisnis secara besar-besaran dengan tingkat pengembalian keuntungan yang sangat lama karena marketing initial cost yang tinggi. Namun, para pebisnis mulai sadar, bahwa semua individu dan masyarakat terhubung dengan internet dan produk-produk digital, yang memungkinkan mereka mendapat informasi setiap hari dengan real-time. Digital Channeling inilah yang menjadi momok baru pemasaran, bukan hanya karena biayanya yang murah, cakupan pasar yang seluas-luasnya, namun juga proses end to end yang lebih mudah dibanding birokrasi memasang iklan di televisi komersial atau program pemerintah. Tidak sampai disini, digital channeling akan lebih mencapai target jika dapat menggaet pasar yang belum tersentuh (untapped market) lewat omni channeling. Omni channel yaitu memberikan akses multi-channel bagi para calon konsumen agar bisa mengetahui, menganalisis, dan akhirnya membeli produk barang/jasa kita lewat channel yang beragam, mulai dari ragam sosial media, serta media cetak. Omni Channel terbukti mampu meningkatkan. sales conversion pada beberapa perusahaan multinasional di Indonesia ketika mereka mengembangkan produk baru mereka. Strategi Omni channel memanfaatkan habit-habit masyarakat, dan memetakan untuk bisa memutuskan dimana saja channel produk barang/jasa bisnis akan ditargetkan. Omni channel sangat erat kaitannya dengan nudge theory karena omni channel merupakan strategi yang mengandalkan impact bukan masalah biaya dan sebagainya. Omni channel juga berfokus pada menyadarkan masyarakat terhadap brand di dalam kehidupan sehari-hari lewat reminder kecil di berbagai platform channeling yang lama kelamaan banyak customer baru juga akan tertarik dengan proses approach sederhana ini. Oleh karena itu, sebenarnya ilmu ekonomi perilaku memiliki pengaruh besar ketika diaplikasikan terhadap sebuah bisnis. Tidak hanya dari sisi pemasaran, namun juga dalam manajemen internal perusahaan. Bagaimana ilmu ekonomi perilaku dapat mempengaruhi sistem berpikir para individu dalam menjalankan bisnis, hingga konsumen sebagai pihak eksternal yang menjadi target pasar sebuah bisnis sebagai main point penggunaan substansi ilmu ekonomi perilaku yang menjadikan ilmu ini memiliki posisi penting di tataran bisnis.

--

--