The Butterfly Ballot: Meninjau Kasus Desain Surat Suara Florida dari Kacamata Ekonomi Perilaku

belinda azzahra
7 min readMar 10, 2023

--

Maraknya suasana pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini serta hiruk pikuk terpilihnya Joe Biden dan Kamala Harris melalui keunggulan mereka dalam hasil perolehan electoral vote, membuat kami ingin melakukan sebuah analisis kilas balik pada sengitnya penentuan proses pemilihan presiden antara Bush dan Al Gore yang terjadi di Palm Beach Country, Florida, Amerika Serikat di awal era 2000-an lalu. Saat itu, selisih suara di antara kedua kandidat sangatlah ketat, yaitu hanya terpaut 537 suara (untuk Bush) dari total sekitar 6 juta suara, hingga akhirnya diputuskan untuk dilakukannya proses penghitungan ulang kembali atas surat suara yang masuk. Sebagai catatan, kondisi ini kian mendapat sorotan publik karena negara bagian Florida memegang kunci kemenangan nasional atas selisih tipis electoral vote di antara kandidat Bush dan Al Gore di kala itu.

Setelah proses pemilihan selesai, banyak telepon masuk dari para pemilih ke Palm Beach Post yang mengaku bahwa mereka sepertinya telah salah memilih kandidat presiden karena keliru dalam menandai surat suara. Rata-rata pemilih yang keliru malah menandai kandidat Pat Buchanan dan Reform Party yang secara tidak terduga memenangkan 3,407 suara. Padahal menurut data dari Reform Party, suara pendukung mereka di Florida hanya mencapai 400–500 suara saja. Hal ini cukup bersifat anomali karena Palm Beach merupakan wilayah yang dikenal condong pada kubu liberal, sementara Pat Buchanan adalah seorang konservatif. Setelah ditelusuri ulang, mayoritas pemilih yang mengakui salah menandai tersebut sebenarnya ingin menyumbangkan suaranya untuk AI Gore.

Kekacauan ini ditengarai terjadi akibat desain surat suara Florida yang bikin rancu. Sebagai catatan, saat itu setiap wilayah AS dapat menggunakan format surat suara yang berbeda. Adapun di Florida, format surat suara pemilihan presiden yang digunakan adalah hasil inovasi dari seorang Pengawas Pemilu dari PBC yang bernama Theresa LePore. Format surat suara ini kemudian dinamakan The Butterfly Ballot karena desainnya yang menyerupai sayap kupu-kupu. Lucu ya! Format surat suara ini terdiri dari dua kolom berisikan nama para kandidat di sisi sebelah kanan dan kiri, serta titik coblos yang berderet kebawah berposisi di tengah menyerupai sebuah poros. Format surat suara yang tidak lazim ini lantas menimbulkan kebingungan di antara para pemilih hingga memicu terjadinya kesalahan sistemik yang berakibat sangat fatal.

Seandainya desain surat suara Florida saat itu dapat lebih memperhatikan bagaimana bagian kognitif manusia memprosesnya, tentunya kekacauan yang diakibatkan oleh kesalahan interpretasi desain surat suara yang rancu ini dapat terhindarkan. Bisa jadi Al Gore lah yang memenangkan negara bagian Florida dan menjadi Presiden AS terpilih kala itu. Bisa jadi pula, kebijakan luar negeri dan ekonomi AS di era itu dapat sangat berbeda. Sebuah pelajaran yang amat mahal akan bagaimana kegagalan suatu desain dalam memahami proses kognitif manusia dapat berimplikasi panjang pada sejarah dunia.

Butterfly Effect of The Butterfly Ballot

Pertanyaan yang kemudian muncul dalam kepala kita tentu adalah, “Emang serancu apa sih sampai dampaknya bisa sedemikian signifikan?” Desain surat suara di bawah ini lah biang keladinya.

Gimana? Gemes nggak? Ya, betul. Kesalahan fatal dalam desain surat suara ini terletak pada ketidaksinkronan kotak yang berisi nama kandidat dengan titik coblos, atau lebih populer dengan istilah misaligned arrow. Dalam format surat suara tersebut, baris titik coblos terletak tidak sejajar dengan baris nama kandidat sehingga menyebabkan para pemilih harus ekstra teliti dalam menandai bulatan mana yang harus mereka coblos. Posisi kandidat dan tempat mencoblos dalam butterfly ballot memang terbukti seakan “menjebak” para pemilih yang tidak hati-hati. Hal ini menyebabkan para tipe pemilih Rusher (pemilih yang hanya membaca instruksi secara cepat dan selintas) dan Skipper (pemilih yang tidak membaca instruksi pemilihan) memiliki kemungkinan salah menandai yang sangat besar. Alhasil, banyak pemilih yang keliru dan kandidat yang seharusnya hanya meraup beberapa suara malah mengalami pelonjakan surat suara masuk. Pada beberapa studi yang dilakukan secara komprehensif setelahnya, dapat dibuktikan bahwa desain butterfly ballot lebih membingungkan bagi pemilih dibandingkan desain single-column ballot atau desain surat suara klasik dimana nama kandidat disusun berderet kebawah dalam satu kolom. Desain butterfly ballot disimpulkan sebagai penyebab kesalahan sistematik yang terjadi dalam proses pencoblosan hingga menyebabkan validitas hasil perolehan suara pemilu di Palm Beach, Florida, AS menjadi tidak akurat. Dilansir dari The Palm Beach Post, kekacauan ini paling merugikan pasangan AI Gore.

Selain kasus Butterfly Ballot di Florida, AS, ada kasus serupa yang terjadi pada pemilihan pemerintah regional di Brussels, Belgia, di bulan Mei 1995. Desain surat suara yang digunakan pada pemilihan Brussels kala itu berjenis multi-column ballot. Pada multi-column ballot, nama kandidat yang kala itu cukup banyak, disusun berbaris ke bawah namun dipecah dalam beberapa kolom ke samping. Hasil dari pemilihan menunjukkan temuan yang tak kalah mengejutkan. Kandidat yang namanya berada di posisi paling atas dan bawah dari setiap baris, mendapatkan lonjakan suara yang sangat signifikan dibanding estimasi saat survei kampanye. Kandidat di posisi strategis (paling atas dan bawah) pada surat suara dengan desain multi-column ballots ini secara tidak sengaja diuntungkan oleh kecenderungan kognitif para pemilih yang cenderung menitik beratkan pandangannya pada titik-titik ekstrem (paling atas dan paling bawah) dari sekian banyaknya pilihan yang tersedia di surat suara. Ternyata format dan tampilan visual dari surat suara segitu ngaruhnya terhadap perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya di bilik suara ya!

Kok bisa sih? Di saat hampir seluruh kandidat pemilihan memusatkan fokus pada usaha-usaha intrinsik dalam merebut hati pemilih, ternyata ada hal kritis yang mungkin sebelumnya dianggap minor seperti format surat suara, dapat memberikan efek simpangan yang demikian hebatnya. Fenomena ini secara umum dikenal dengan sebutan The Butterfly Effect. Sedikit ulasan trivial mengenai Teori Butterfly Effect, teori ini awalnya dikemukakan oleh seorang ilmuwan bernama Edward Norton Lorenz pada tahun 1961 di sela-sela pekerjaannya sebagai peneliti meteorologi. Ia mencoba meramal cuaca dengan metode statistik menggunakan angka-angka desimal dalam waktu berkala. Saat data angka di plot dalam kurva, ia menemukan sebuah hal yang mengejutkan. Kurva yang ia peroleh ternyata tidak sama dengan kurva sebelumnya. Kurva yang sebelumnya berhimpit, lambat laun menyimpang dari seharusnya, hingga membentuk suatu pola indah mirip sayap kupu-kupu. Secara dramatis, hasil yang didapat pun sangat jauh berbeda. Hal inilah yang melatarbelakangi Teori Butterfly Effect, di mana perbedaan yang demikian kecilnya laksana kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil mampu menghasilkan sebuah angin tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Metafora ini memberikan sebuah ilustrasi ideal tentang bagaimana hal kecil yang bertentangan dengan hal besar namun dapat menimbulkan dampak yang demikian besar Sebuah kegagalan desain surat suara, yang mungkin dianggap minor, dalam mengantisipasi terjadinya bias kognitif pada pemilih, tanpa disangka ternyata menyebabkan konsekuensi yang berdampak luar biasa masif pada sejarah manusia

Ilustrasi Teori Butterfly Effect

Oleh karena itu, sejak tahun 2000, beberapa aspek dalam desain surat suara mendapat tinjauan ulang secara khusus agar meminimalikan kesalahan menandai bagi para pemilih dalam proses pemungutan suara. Terlebih lagi studi dalam American Political Science Review, pemilih yang memiliki kemampuan kognitif cenderung menengah ke rendah akan sangat rentan terjebak bias kognitif sehinggal berpeluang lebih besar untuk melakukan kesalahan teknis dalam menandai surat suara dengan format multi-column atau butterfly, karena mereka akan cenderung bertendensi memilih nama di posisi strategis yaitu yang paling atas atau paling bawah. Mereka cenderung untuk tidak berusaha melihat nama-nama yang berada di tengah karena mereka nilai ribet dan bikin pusing. Semenjak beberapa kasus terjadi, desain surat suara kemudian dibuat lebih sederhana, utamanya agar dapat mengakomodir tipe pemilih yang Rusher dan Skipper seperti itu, supaya tetap bisa memilih dengan benar tanpa rentan untuk keliru menandai. Center for Civic Design sebagai organisasi yang memprakarsai perbaikan desain surat suara ini juga memiliki tujuan to make every interaction between government and citizens easy, effective, and pleasant atau membuat setiap interaksi yang terjadi antara pihak pemerintah dan warga negara menjadi pengalaman yang mudah, efektif, dan menyenangkan

Kesimpulannya, terdapat dua poin kritis untuk dapat dilakukan intervensi dalam pembuatan desain yang akan digunakan oleh public secara luas. Yang pertama adalah porsi desainer untuk dapat meningkatkan kecermatan dalam merancang sistem ataupun produk dengan mewaspadai potensi terjadinya bias kognitif pada pengguna yang dapat berimplikasi pada penyimpangan dari hasil yang dituju. Salah satu faktor penting untuk dijadikan bahan pertimbangan adalah profil dan komposisi latar belakang pengguna. Tingkat pendidikan, misalnya, sering diasosiasikan sebagai faktor penting yang paling mempengaruhi kekuatan kognitif seseorang dalam mengantisipasi terjadinya bias kognitif (Hyman et al., 1975; Schuman dan Presser, 1981). Yang kedua adalah porsi individu pengguna agar mampu mengantisipasi hadirnya bias dalam proses berpikirnya sendiri. Semakin pengguna sadar bahwa pikirannya rentan terhadap bias kognitif, pengguna akan cenderung untuk mencoba lebih berhati-hati untuk mengantisipasi lubang-lubang bias kognitif dalam pikirannya agar tidak terperosok ke dalamnya.

Bisa kita bayangkan bagaimana perbedaan kebijakan dan kondisi AS, dulu maupun kini, apabila waktu itu AI Gore yang resmi memenangkan pemilihan presiden. Kekeliruan segelintir pemilih akibat desain yang rancu di Florida bisa menimbulkan pengaruh yang sangat besar tak hanya di AS tetapi juga belahan dunia lainnya yang turut merasakan dampak dari aneka kebijakan politik luar negeri dan ekonomi AS. Oleh karena itu, penerapan ilmu perilaku sangat penting di segala aspek kehidupan, utamanya untuk dapat menggambarkan dan memetakan berbagai kontingensi dan risiko yang dihadapi suatu aktvitas karena pengaruh aksi manusia. Intervensi yang tepat dapat ditujukan agar hal tersebut dapat berjalan sesuai apa yang diharapkan. One nudge at a time. (Belinda & Daisy)

Referensi:

Ghys, É. (2015). The butterfly effect. In The Proceedings of the 12th International Congress on Mathematical Education (pp. 19–39). Springer, Cham.

Hilborn, R. C. (2004). Sea gulls, butterflies, and grasshoppers: A brief history of the butterfly effect in nonlinear dynamics. American Journal of Physics, 72(4), 425–427.

Lorenz, E. (2000). The butterfly effect. World Scientific Series on Nonlinear Science Series A, 39, 91–94.

Roberts, D. A., & Stanford, D. (2014). Two-dimensional conformal field theory and the butterfly effect. arXiv preprint arXiv:1412.5123.

--

--